Budaya, adat, tradisi adalah hal
yang mulai jarang dibahas dan dipelajari oleh generasi muda, sebagian menilai
hal itu tak perlu dipelajari karena hanya akan membuat mereka menjadi individu
yang kuno, tak mengikuti perkembangan zaman atau malahan ada yang menilai
budaya dan tradisi itu akan mengikat kita sehingga tak bisa bebas berkreasi.
Sebagai generasi muda Minangkabau yang berpendidikan, kita harus membantah hal
itu, kita dapat meyakinkan bahwa kearifan adat, budaya dan tradisi itu bisa
membawa kita menjadi individu yang arif, bijak, kreatif dan pintar. Sebagai
dasar kita berpijak kita awali dengan mengupas “Adaik nan ampek” (adat yang empat) yaitu :
1.
Adat
nan sabana Adaik (Adat yang
sebenarnya adat).
Adat ini merupakan adat yang paling utama yang tidak dapat dirubah sampai
kapanpun dia merupakan harga mati bagi seluruh masyarakat Minangkabau. Hal yang
paling prinsip adalah bahwa seorang Minangkabau wajib beragama Islam dan akan
hilang Minangnya kalau keluar dari agama Islam. Adat nan sabana adat
ialah : yang diterima dari nabi Muhammad SAW. Yakni semua hal yang tersebut dan
ada di dalam kitab Allah (Al-Qur’an), atau dalam arti lebih mendalam
adalah semua
yang ada tuntunannya di dalam Syara’ (agama Islam), atau “syarak mangato (menetapkan) dan adat mamakai (memakaikan). Hal ini
seperti kewajiban membaca dua kalimah syahadat (pengakuan sebagai orang Islam) melaksanakan
shalat, puasa, zakat, naik haji bila mampu. Serta tuntutan dan kewajiban syarak
lainnya.
Dari penjelasan ini perlu kita
mengintrospeksi diri, mengkaji pelaksanaan ajaran Islam dalam kehidupan kita
sehari-hari. Apakah kita telah shalat dengan baik, tepat waktu dan melaksanakan
rukun shalat dengan baik. Atau malah kita telah meninggalkannya dengan tanpa
rasa bersalah? Hal itu kita bisa nilai sendiri. Untuk kesimpulan Adat nan
sabana adat ini jelas bahwa bila kita melaksanakan ajaran dan perintah Islam
berarti kita telah melaksanakan adat nan sabana adat, tapi bila kita
meninggalkan ajaran dan perintah Islam berarti kita meniggalkan pula adat nan
sabana adat dalam nilai adat Minangkabau.
2.
Adat
nan diadatkan (adat yang di
adatkan)
Adat ini adalah sebuah aturan yang telah disepakati dan diundangkan dalam
tatanan Adat Minangkabau dari zaman dulu melalui sebuah pengkajian dan
penelitian oleh para pemikir orang Minang dizaman dulu, contohnya yang paling
perinsip dalam adat ini adalah adalah orang minang wajib memakai kekerabatan “Matrilineal”
mengambil pesukuan dari garis ibu dan nasab keturunan dari ayah, makanya ada “Dunsanak” (persaudaraan dari keluarga
ibu) dan adanya “Bako” (persaudaraan
dari keluarga ayah), Memilih dan menetapkan Penguhulu suku dan Ninik mamak dari
garis persaudaraan badunsanak berdasarkan dari ampek suku asal (empat suku asal) “Koto, Piliang, Bodi, Caniago”
atau berdasarkan pecahan suku nan ampek. Menetapkan dan memelihara harta pusaka
tinggi yang tidak bisa diwariskan kepada siapapun kecuali diambil manfaatnya
untuk anak kemenakan, seperti sawah, ladang, hutan, pandam pakuburan, rumah
gadang. Kedua adat diatas disebut “Adaik
nan babuhua mati” (Adat yang diikat mati) dan inilah disebut “Adat”, adat
yang sudah menjadi sebuah ketetapan dan keputusan berdasarkan kajian dan
musyawarah yang menjadi kesepakatan bersama antara tokoh Agama, tokoh Adat dan
cadiak pandai diranah Minang, adat ini tidak boleh dirubah-rubah lagi oleh
siapapun, sampai kapanpun, sehingga ia disebut “Nan inadak lakang dek paneh nan indak lapuak dek hujan, dibubuik
indaknyo layua dianjak indaknyo mati” (Yang tidak lekang kena panas dan
tidak lapuk kena hujan, dipindah tidak layu dicabut tidak mati). Kedua adat ini
juga sama diseluruh daerah dalam wilayah Adat Minangkabau tidak boleh ada
perbedaan karena inilah yang mendasari adat Minangkabau itu sendiri yang
membuat keistimewaan dan perbedaannya dari adat-adat lain di dunia. Anak sicerek didalam padi. Babuah
batangkai-tangkai. Salamaik buah nan mudo Kabek nan arek buhua mati Indaklah
sia kamaungkai Antah kok kiamaik nan katibo.
Adat nan diadatkan ini dapat kita lihat dalam pekasanaannya sekarang dan
eksistensinya sekarang, seperti penetapan garis keturunan, pembagian harta
pusaka. Hal ini tak berubah dan masih bertahan sampai sekarang.
3.
Adat nan
Taradat (adat yang teradat).
Adat ini adanya karena sudah teradat dari zaman dahulu dia adalah ragam
budaya di beberapa daerah di Minangkabau yang tidak sama masing masing daerah,
adat ini juga disebut dalam istilah “Adaik
salingka nagari” (adat selingkar daerah). Adat ini mengatur tatanan hidup
bermasyarakat dalam suatu Nagari dan interaksi antara satu suku dan suku
lainnya dalam nagari itu yang disesuaikan dengan kultur didaerah itu sendiri,
namun tetap harus mengacu kepada ajaran agama Islam. Adat ini merupakan
kesepakatan bersama antara Penguhulu Ninik mamak, Alim ulama, cerdik pandai,
Bundo Kanduang dan pemuda dalam suatu nagari di Minagkabau, yang disesuaikan
dengan perkembangan zaman memakai etika-etika dasar adat Minang namun tetap
dilandasi ajaran Agama Islam.
4.
Adat
Istiadat.
Adat ini adalah merupakan ragam adat dalam pelaksanaan silaturrahim,
berkomunikasi, berintegrasi, bersosialisasi dalam masyarakat suatu nagari di
Minangkabau seperti acara pinang meminag, pesta perkawinan dan lain-lain, adat
ini pun tidak sama dalam wilayah Minangkabau, disetiap daerah ada saja
perbedaannya namun tetap harus mengacu kepada ajaran Agama Islam. Kedua adat
yang terakhir ini disebut “Adaik nan
babuhua sintak” (adat yang tidak diikat mati/longgar) dan inilah yang
namakan ”Istiadat”, karena ia tidak diikat mati maka ia boleh dirubah kapan
saja diperlukan melalui kesepakatan Penghulu Ninik mamak, Alaim Ulama, Cerdik
pandai, Bundo kanduang dan pemuda yang disesuaikan dengan perkembangan zaman
namun acuannya adalah sepanjang tidak melanggar ajaran Adat dan ajaran Agama
Islam, sehingga disebut dalam pepatah adat “maso batuka musim baganti, sakali
aie gadang sakali tapian baranjak ”Masaklah
padi rang singkarak Masaknyo batangkai-tangkai, Dibaok urang ka malalo, Kabek
sabalik buhua sintak Jaranglah urang kamaungkai, Tibo nan punyo rarak sajo.